Dua Pria Sebangku Itu Kini Berseberangan

"Italians can never beat you, but you can lose against them."

Johan Cruyff, teladan Barcelona itu, memang dikenal memiliki bahasa tersendiri. Komentar-komentar yang diberikannya terkadang menyalahi tata bahasa standar. Ada nilai filosofis tersendiri. Di sisi lain, bisa pula menjadi sebuah teka-teki.

Salah satu filosofi Cruyffian yang terkenal itu sudah saya kutip pada kalimat pembuka tulisan ini. Tim-tim Italia tak bisa mengalahkan Anda, tapi Anda bisa menderita kekalahan dari mereka.

Sekali lagi, filosofi itu terbukti di Camp Nou malam tadi. Strategi Jose Mourinho, entah dipuji entah dicaci, berhasil meredam agresivitas Barcelona dan membawa Inter Milan ke final Liga Champions di Santiago Bernabeu, 22 Mei mendatang.

Mourinho seorang yang pragmatis. Sangat pragmatis. Dia tidak sekadar menjadi pelatih yang mengedepankan hasil, sebagaimana adagium yang lekat dengan persepakbolaan Italia dari waktu ke waktu. Mourinho adalah pelatih yang cerdas dalam penerapan strategi yang tepat.

Untuk melawan Barcelona, Mourinho membikin dua lajur pemain sekira 20 meter dari gawang Julio Cesar. Pemain Inter tak membiarkan Barcelona memainkan umpan-umpan diagonal yang membongkar lini pertahanan mereka. Para pemain Barcelona terlihat lebih sering memberikan umpan-umpan mendatar dari sisi ke sisi.

Musim lalu, Guus Hiddink, yang juga pragmatis itu, hampir sukses mempecundangi Barcelona dengan cara yang mirip. Namun, Mourinho berhasil menyempurnakannya karena berhasil mengantungi kemenangan 3-1 pada laga pertama. Kemenangan tersebut tercipta berkat kelihaian strategi Mourinho membelah pertahanan Barcelona lewat bola-bola panjang serta kecepatan Diego Milito atau Samuel Eto'o.

Pada laga kedua, Inter memang nyaris tak pernah melancarkan serangan balik sehingga mungkin mengacaukan selera menonton Anda. Tapi, harus diakui terbukti efektif memandulkan ancaman Barcelona.

Sebagai bentuk perayaannya, Mourinho mengacungkan tangan tinggi-tinggi di depan pendukung tuan rumah. Victor Valdes merasa terganggu dan meminta Mourinho tidak memprovokasi publik Camp Nou. Anda boleh bilang Mourinho arogan, tapi saya rasa itu hanya ungkapan kebahagiaan seorang pelatih setelah timnya lolos ke final turnamen penting.

Saya juga yakin, di dalam lubuk hatinya, Mourinho takkan melupakan Camp Nou.

Waktu itu, pertengahan 1997. Josep Lluis Nunez pecah kongsi dengan Johan Cruyff. Diam-diam, ditemani sekretaris teknik Joan Gaspart, sang presiden terbang ke London menemui Sir Bobby Robson.

Hubungan direksi Barcelona dengan almarhum Sir Bobby memang sudah seperti kerabat dekat. Sudah lama Nunez ingin menjadikan Sir Bobby sebagai pelatih di Camp Nou. Pendekatan pertama pada pertengahan 1980-an gagal karena Sir Bobby tak mau meninggalkan timnas Inggris. Sir Bobby ganti menyarankan agar Barcelona meminang Terry Venables. Saran itu dituruti.

Kini, setelah menangani Benfica, Sir Bobby menganggur. Permintaan Nunez untuk menjadikan Sir Bobby sebagai pengganti Cruyff diiyakan. Keesokan harinya, di Camp Nou, Cruyff tiba di kantor untuk bersiap menghadapi laga akhir pekan. Saat membaca suratkabar, Cruyff terkesiap karena diberitakan Nunez sudah menunjuk Sir Bobby sebagai pelatih musim berikutnya.

Amarah Cruyff bukan kepalang. Untuk figur bereputasi seperti dirinya, pemecatan melalui media sungguh keterlaluan. Asisten pelatih Charly Rexach berupaya menenangkannya, tapi sia-sia. Cruyff melabrak Gaspart dan hubungan keduanya yang sudah dingin kian buruk saja. Cruyff dipersilakan meninggalkan Camp Nou saat itu juga.

Berakhir sudah rezim sepakbola indah Cruyff yang ditandai dengan The Dream Team pada awal 1990-an. Terbukti, hegemoni dan nafsu kekuasaan Nunez sulit terbantahkan.

Sir Bobby ogah menuruti arus politik di Barcelona, meski pada akhirnya turut menjadi korban kebijakan Nunez. Salah satu keputusan Sir Bobby saat itu adalah mengajak seorang pria Portugal berperawakan sedang, rambut ikal, dan berwajah dingin. Namanya Jose Mourinho.

Sir Bobby terkesan dengan kepiawaian Mourinho berbicara dalam banyak bahasa. Karena Sir Bobby tak mau belajar bahasa Spanyol maupun Katalan, Mourinho dijadikannya sebagai staf penerjemah. Ada kesan lain yang ditangkap Sir Bobby dari Mourinho, yaitu kemampuannya menganalisa pertandingan. Penasaran, Sir Bobby mengirim Mourinho untuk melakukan riset kecil-kecilan tentang calon lawan Barcelona.

Hasilnya, Sir Bobby kian terkesan. Mourinho kembali dengan berkas-berkas data yang komprehensif dan tajam. Hati kecil Sir Bobby bicara, si Jose ini akan menjadi sosok pelatih yang hebat.

Louis van Gaal & Jose MourinhoSetahun berselang, Nunez mengakhiri rezim kepelatihan Sir Bobby. Berbeda dengan caranya menendang Cruyff, kini Nunez bersikap lebih diplomatis. Sir Bobby dimintanya "naik posisi" sebagai direktur perekrutan klub. Tentu saja, itu taktik Nunez memecat Sir Bobby secara halus karena dia sudah mendapatkan Louis van Gaal. Tak mau ambil pusing dan memang dasarnya seorang yang berjiwa positif, Sir Bobby menerima jabatan barunya dengan lapang dada.

Van Gaal datang dengan reputasi sebagai pelatih yang sukses membawa Ajax Amsterdam menjuarai Liga Champions 1995. Metodologi Van Gaal, meski sedikit pragmatis dan ditentang kalangan konservatif sepakbola Belanda, dipuji seantero Eropa karena Ajax tampil mengesankan dan tak terkalahkan sebelum merebut gelar juara.

Saat tiba di Camp Nou, Sir Bobby meminta Van Gaal meluluskan satu hal. Pertahankan Mourinho dan jadikan dia staf pelatih. Saran itu didengar Van Gaal dan jadilah Mourinho asistennya di Barcelona. Mourinho bahkan dipercaya menangani Barcelona B dan menjalin hubungan akrab dengan para pemain, di antaranya Pep Guardiola.

Kiprah Van Gaal bersama Barcelona penuh warna. Meski sukses merebut gelar juara Primera Liga dua musim beruntun, Barcelona selalu gagal di Eropa. Permainan Barcelona kerap dikritik karena memiliki pertahanan setipis karton. Meski sempat kembali menangani Barcelona, Van Gaal tak terlalu ingin dikenang publik Camp Nou. Musim panas 2000, Van Gaal menyudahi kerjasama dengan Barcelona dan menggantikan Frank Rijkaard sebagai pelatih timnas Belanda.

Mourinho memilih caranya sendiri. Dia kembali ke Portugal dan menangani klub Benfica sebelum pindah lagi ke Uniao de Leiria. Pada 2002, Mourinho dipercaya menangani FC Porto. Dua tahun berselang, barulah nama Mourinho dikenal luas Eropa ketika membawa Porto menyisihkan Manchester United di Liga Champions. Di lapangan Old Trafford, Mourinho merayakan gol Costinha yang meloloskan Porto dengan penuh luapan emosi. Di depan empunya stadion. Di depan hidung Sir Alex Ferguson yang puritan itu.

Setahun berselang, Mourinho datang juga menantang Ferguson di Liga Primer Inggris ketika juragan minyak Rusia Roman Abramovich meminta Mourinho menangani klub yang baru dimilikinya, Chelsea.

Di belahan bumi yang lain, sekira 400 kilometer dari London, tepatnya di Alkmaar, sebuah kota berpenduduk 90 ribu jiwa lebih sedikit, Van Gaal menerima tawaran Dick Scheringa untuk menangani AZ.

Mourinho mampu membawa Chelsea meraih gelar juara Liga Primer dua musim beruntun, tapi gagal di Eropa. Bertikai dengan Abramovich, pada akhirnya Mourinho angkat kaki Oktober 2007.

Tak lama menganggur, Mourinho dilamar Massimo Moratti untuk menangani Inter Milan. Dasar bertangan emas, Mourinho kembali sukses bersama Inter. Tapi, tetap saja. Inter, sama seperti Chelsea, haus gelar Eropa.

Harapan Scheringa AZ dapat tertular sukses Van Gaal, yang dikenal gemar membawa papan catatan ke pinggir lapangan itu, terkabul. Van Gaal membawa AZ merusak dominasi De Grote Drie dengan menjuarai Eredivisie musim 2008/09.

Dasar seorang yang selalu tertantang sukses, Van Gaal menyanggupi tawaran menangani Bayern Muenchen musim berikutnya. Sungguh menarik, pelatih Belanda melatih klub Jerman...

Mungkin sudah digariskan suratan tangan, dua pria yang dulu sebangku di Camp Nou itu akan berseberangan di Santiago Bernabeu. Dua pria lulusan Barcelona yang berseberangan jalan dengan "Cruyffisme" karena menyisipkan prinsip pragmatisme dalam sepakbola mereka.

Pada musim pertamanya, Van Gaal menjawab segala kritik dengan mengantar Bayern ke final Liga Champions setelah melewati hadangan Fiorentina, Manchester United, dan Olympique Lyon. Lawan Van Gaal di final adalah sang bekas asisten, Jose Mourinho, yang berhasil menjawab nostalgia dengan mengalahkan Barcelona asuhan Pep Guardiola di babak semi-final.

Bukan final Eropa pertama buat mereka. Van Gaal juara 1995 dan tampil lagi di final musim berikutnya bersama Ajax. Mourinho, out of the blue, juara 2004 bersama Porto.

Di finalnya, Van Gaal memprotes gasakan pemain AC Milan di final 1995 dengan memeragakan terjangan si pemain di depan asisten wasit di pinggir lapangan stadion Ernst Happel, Wina.

Sementara, di finalnya, dengan memasang wajah cemberut Mourinho langsung menghilang setelah dikalungi medali juara tanpa mengacuhkan selebrasi juara timnya di final 2004, di Arena AufSchalke, Gelsenkirchen.

Mana dari adegan ini yang akan terulang di Santiago Bernabeu bulan depan?

sumber : goal.com
This entry was posted in :

0 comments:

Posting Komentar