Hadapi si Jago "Mengancam"!


"KALAU papa enggak mau beliin sepeda, aku mau bunuh diri saja," kata Sandi (7) dengan nada mengancam, sembari berlari ke dapur untuk mengambil sebilah pisau.

Untung saja sang papa lebih dulu mengamankan pisau. Kalau sampai terlambat, wah...tak bisa dibayangkan bagaimana seandainya Sandi benar-benar melakukan apa yang diutarakannya sebagai ancaman tadi.

Apakah moms juga pernah mengalami situasi seperti Sandi? Meminta sesuatu dengan cara mengancam agar dituruti. Lantas, wajarkah hal ini terjadi pada anak seusia Sandi?

Belum Mengetahui Konsekuensinya

Menurut Rustika Thamrin, S.Psi, Psikolog, CHT, CI, MTLT TM , mengutip dari teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget, anak usia 7-11 tahun, masuk dalam tahap konkret-operasional. Artinya, anak dapat melakukan penalaran logis, namun belum berpikir bahwa apa yang dilakukannya memiliki konsekuensi terhadap diri sendiri maupun orang lain. Singkatnya, dia belum menyadari makna konsekuensi.

"Biasanya, cara berpikir anak usia ini banyak dipengaruhi lingkungannya," kata psikolog kelahiran Jakarta, 21 Maret ini.

Ambil contoh, seorang anak yang akan melakukan atau mengancam menyakiti dirinya sendiri jika keinginannya tidak dituruti.

Faktor Penyebab

# Cara Komunikasi

Kadang orangtua lupa ketika berbicara kepada anggota keluarga, khususnya anak, mereka juga menggunakan kata-kata yang bersifat mengancam. Misalnya, "Awas ya, kalau nilai kamu jelek, mama tidak kasih uang saku."

Kata 'AWAS' secara tidak sadar direkam dalam ingatan anak. Jadi, bukan tidak mungkin bagi seorang anak untuk menjiplak apa yang sudah dikatakan orangtuanya. Atau, bisa juga si kecil mendengar kata-kata bersifat mengancam justru dari orangtuanya.

Misal, ketika moms and dads bertengkar, tak sengaja anak Anda mendengar ucapan, "Kalau papa enggak bisa berubah, mama mau bunuh diri saja!" Sehingga, ancaman itu akan dijadikan anak sebagai senjata.

# Tayangan & Teknologi

Sama halnya dengan ancaman, tayangan yang ditonton anak juga patut diwaspadai. Sebab, kini tayangan-tayangan yang beredar mengusung tema kekerasan, kejahatan, atau bunuh diri. Bila tayangan ini masih dikonsumsi anak, tak menutup kemungkinan anak akan menirunya.

Tayangan film atau sinetron misalnya. Tak jarang adegan yang diperlihatkan memuat unsur kekerasan. Nah, jika si kecil melihat adegan tersebut, bisa saja dia menirunya. Padahal, dia tidak mengerti kalau adegan tersebut hanya rekayasa belaka.

Begitu pula teknologi. Sebut saja, pemakaian handphone. Anak hanya berinteraksi dengan gadgetnya, alhasil anak kesulitan menangkap perasaan orang lain, terlebih orangtuanya.

# Kehabisan Akal

Faktor ini bisa terjadi jika anak sudah mencapai jalan buntu. Ibaratnya, si kecil sudah menunjukkan dengan bahasa implisit, tetap saja orangtua tidak peduli.

Lalu, dicoba dengan bicara langsung, tetap mendapat perlakuan sama. Lama-lama dia mencari jalan yang ekstrim agar orangtua benar-benar peduli kepadanya, seperti mengancam bunuh diri.

# Tumpukan Emosi

Biarpun masih kecil, rupanya anak juga mengalami tumpukan emosi. Ya! Dia merasa tidak dicintai dan diperlukan. Hal inilah yang mengarahkan anak untuk mengakhiri hidupnya.

Lebih Egosentris

Selain empat faktor di atas anak seusia Sandi, sifat yang menonjol adalah Self Centered. Artinya, anak beranggapan bahwa apa yang menjadi keinginannya dapat terjadi pada saat itu juga. Tidak bisa menunggu besok atau lusa. Semuanya harus terjadi sekarang.

“Sayangnya, kondisi self centered diperparah dengan pola asuh orangtua yang mendahulukan hak daripada kewajiban,” tutur Psikolog yang mendalami hipnoterapi ini.

Umpamanya: Mama akan membelikan sepeda, asalkan anak rajin belajar. Namun, sepedanya sudah terlanjur dibeli, sebelum anak rajin belajar. Anak pun akan berpikir, sudah mendapat hadiah, jadi mengapa harus usaha keras.

Bila Anak Melakukan Tindakan Bahaya, Sebaiknya...

- Ambil Benda Berbahaya

Jika si kecil sudah memegang pisau, misalnya, segeralah ambil tindakan. Tapi ingat, moms and dads sebaiknya meredakan emosi dulu. Sebagai contoh, ambillah benda berbahaya itu segera, lalu katakan, ”Nak, jangan lakukan itu. Perbuatan itu bahaya!”

- Ungkapkan Perasaan

Jika anak melakukan tindakan berbahaya, cobalah peluk dan usaplah bagian belakang kepala, yang dipercaya menurunkan agresivitas anak (cenderung menyerang kepada sesuatu yang dianggap mengecewakan dirinya).

Bila ada perasaan sedih, ungkapkanlah dengan perasaan secara mendalam, bahkan hingga menangis sekalipun. Niscaya, anak pun lambat laun menyadari kasih sayang orangtua kepadanya.

- Dengarlah dengan Hati!

Mendengar? Pasti dengan telinga. Ya, itu benar! Tapi, cobalah moms dan dads mendengar dengan cara lain, mendengar lewat hati. Caranya? Coba tangkaplah bahasa tubuh anak (sensory equity).

Jadi, bila si kecil mengalami hal yang tidak biasa dalam dirinya, coba tanyakan kepadanya apa yang terjadi. Jangan lupa tanyakan perasaannya. Dijamin, si kecil merasakan kedekatan bersama orangtuanya.

Bila si Kecil Mengancam...

- Berilah si kecil perhatian.

- Ketika anak bicara, sebaiknya orangtua mendengarkan. Tidak hanya mendengarkan, tapi cobalah untuk menyimak apa yang anak inginkan.

- Ajarkan dia mengatasi emosinya. Berikan dia terapi mengontrol impulsivitasnya (ingin kemauannya terwujud sekarang juga) dengan menunda kebutuhannya.

- Latihlah stres anak. Si kecil bisa mendapatkan sesuatu atau hadiah bila dia melakukan perilaku yang baik. Hadiah ini tidak harus dalam bentuk barang, tapi dapat berupa senyuman, ekspresi pujian, dan sebagainya.

Nah, agar perilaku menjadi kebiasaan (habit), ulangilah perilaku tersebut selama 21 hari. Dipercaya hal itu akan terprogram dalam otak anak.

http://lifestyle.okezone.com/read/2011/02/04/196/421462/hadapi-si-jago-mengancam

0 comments:

Posting Komentar